SEJARAH SINGKAT SENI BELA DIRI SERA DARI JAWA BARAT
Bela diri adalah salah satu bentuk pertahanan diri yang mengandalkan kekuatan fisik dan kecermatan. Tidak hanya itu seni bela diripun banyak dipilih sebagai olahraga pengolahan tubuh untuk menjaga kesehatan. Bela diri ini beragam, selain penamaannnya yang berbeda-beda tekniknya pun tidak sama.
Di Indonesia sendiri ada beragam jenis bela diri, seperti tarung derajat, silek minangkabau, bhakti negara, merpati putih dan yang paling terkenal adalah pencak silat.
Pencak Silat adalah olahraga bela diri asal Indonesia yang paling populer, yang sudah berdiri sejak tahun 1550.
Uniknya lagi, pencak silat ini pun mempunyai beberapa aliran lagi, yang tentunya ada ciri khasnya dari setiap daerah.
Salah satu silat yang berumur cukup tua di Indonesia adalah silat aliran Sera. Bela diri sera di klaim sebagai bela diri tradisional asal Jawa Barat yang bertahan sampai saat ini. Silat sera sudah termasuk anggota IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) sejak tahun 1976 dengan nama Silat Panca Sera.
Aliran silat ini dikembangkan oleh KH. Raden Sarean di Bogor Jawa Barat yang konon merupakan turunan dari Silat Cimande. Tidak diketahui dengan pasti sejarah dari silat sera ini, begitupun dengan catatan resmi terkait Pak Sera sebagai pendiri. Namun, beberapa sumber meyebutkan silat sera sudah ada sejak Abad ke-17.
Cerita yang paling banyak ditemukan mengenai sejarah silat sera yaitu terjadi sekitar abad ke-17. Bapak Sera adalah seorang yang gemar sekali bertualang. Dalam petualangannya beliau banyak sekali menimba ilmu agama dan silat dari berbagai daerah, disamping berniaga sebagai mata pencariannya. Ketika beliau sedang berada di daerah Riau, beliau mendengar berita yang tersiar akan keperkasaan wanita bernama Hj. Cut Suriah yang membuat Bapak Sera ingin berguru padanya dan bertekad untuk mencarinya ke tanah Aceh.
Kurang lebih 6 tahun Pak Sera berguru kepada Hj. Cut Suriah, namun beliau baru mengetahui nama asli gurunya tersebut.
Nyai Panjate adalah julukan yang diberikan Bapak Sera, karena setiap menyusui anak perempuannya dengan terbungkus rapi selalu dikebelakangkan. Atas manjuran Sang Guru, Bapak Sera dianjurkan untuk kembali pulang ke tanah asalnya karena ilmu yang didapat telah dinilai cukup. Dan Pak Sera kembali ke tanah Jawa, tepatnya di Bogor.
Cerita diambil dari berbagai sumber.