SEJARAH BAJU KAOS DIJADIKAN MEDIA MENGUTARAKAN PENDAPAT HINGGA PROTES OLEH PARA AKTIVIS
Saat ini baju kaos sering dijadikan media kampanye, promosi hingga protes, hal itu bisa dilihat dari semakin banyaknya kaos dengan tulisan seperti kata-kata bijak/quote hingga tulisan bentuk protes. Untuk mendapatkan kaos dengan tulisan seperti itu, kamu bisa dengan mudah membelinya di marketplace atau bisa juga memesannya secara custom di konveksi baju.
Kaos dipercaya lebih ekfektif dijadikan media penyampaian pesan, meskipun saat ini sudah ada banyak tempat untuk menyuarakan pendapat, nyatanya kaos masih banyak diminati karena dirasa lebih praktis dijadikan ajang promosi berjalan.
Nah kali ini Towa Konveksi sudah merangkum kisah menarik asal mula baju kaos dijadikan media protes oleh para aktivis, simak ya.
Baca juga : Fakta Menarik Sejarah Baju Kaos Promosi
Mengenakan baju kaos dengan kata-kata protes adalah salah satu bukti kepedulian dan tanda solidaritas dengan menyuarakan terhadap isu sosial yang tengah terjadi.
Diketahui awal mula pakaian dijadikan sebagai media protes sudah muncul sejak awal abad ke-20, dimana perempuan mengenakan busana putih dalam protes-protes menuntut hak pilih dalam pemilu. Sedangkan di ranah mode, baju kaos protes muncul pada dekade 1960-an dan 1970-an seiring ditemukannya mesin cetak sablon. Waktu itu kaos dengan sablon kata-kata protes muncul sebagai serangan terhadap perang Vietnam.
Dilansir dari tirto.id, di tanah Eropa, kaos protes sudah sampai ke ranah mode dan pelopornya adalah desainer busana Katharine Hamnett. Sosok Hamnett jadi fenomenal setelah fotonya bersama mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher tersebar di media. Waktu itu, ia mengenakan kaos putih bertuliskan “58% Don’t Want Pershing”—alias “58% (Populasi Inggris) Menolak (Rudal Nuklir) Pershing”. Slogan itu adalah bagian dari kampanye publik Hamnett yang menolak rencana NATO menaruh rudal nuklir di beberapa negara Eropa pada awal 1980-an.
Tahun 2018 ia mengeluarkan desain kaos terbaru yang masih relevan hingga kini. Tulisannya “Cancel Brexit”, “Second Referendum Now”, dan “Fashion Hate Brexit”. Sejak saa itu, Hamnett dikenal sebagai desainer kaos protes.
Ide Hamnett ini menginspirasi desainer-desainer lain seperti Prabal Gurung dan Maria Grazia Chiuri—direktur kreatif lini busana Dior—dalam menciptakan kaos bernada protes. Pada 2017, Dior menciptakan kaos edisi khusus bertuliskan “We Should All be Feminists” (“Kita Semua Harus Jadi Feminis”). Setelah peragaan, kaos ini jadi perbincangan di media sosial terlebih setelah pesohor Rihanna memakainya.
Di Indonesia kita sering melihat beberapa kaos yang dipakai oleh para aktivis seperti kaos tulisan soe hok gie, atau kaos bergambar Munir, Marsinah, kaos dengan pesan penolakan reklamasi Tanjung Benoa, hingga kaos tolak pabrik semen kendeng, dll.
Pesan tulisan yang bisa terbaca dengan jelas dalam medium apapun bisa memantik keberanian orang lain untuk mengutarakan pendapat dan mendorong mereka untuk bersikap aktif.
Baca selengkapnya di artikel “Kisah Katharine Hamnett, Desainer yang Mempopulerkan Kaos Aktivis”, https://tirto.id/dhTe